Ia bagaikan potret seorang nabi, yang dihargai oleh bangsa lain tetapi dibenci di negerinya sendiri. Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang pantas menjadi calon pemenang Nobel. Ia telah menghasilkan belasan buku baik kumpulan cerpen maupun novel. Kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Ia banyak menghabiskan hidupnya di balik terali penjara, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, zaman pemerintahan Soekarno, maupun era pemerintahan Soeharto.
Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa.
Setelah pecah G30S-PKI, Pramoedya yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat - onderbouw Partai Komunis Indonesia - ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979. Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.
Setelah bebas pun, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.
Ia dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 oleh seorang ibu yang memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Pramoedya mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya teinspirasi oleh ibunya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, “seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun’. Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan – ibunya. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.
Setelah ibunya meninggal, Pramoedya dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pramoedya masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai, namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenografer, lalu jurnalis.
Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda, tahun 1945 ia bergabung dengan para nasionalis, bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum ia akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).
Setelah Indonesia merdeka, tahun 1949, Pramoedya menghasilkan beberapa novel dan cerita singkat yang membangun reputasinya. Novel Keluarga Gerilya (1950) menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.
Cerita-cerita singkat yang dikumpulkan dalam Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950) ditulis semasa revolusi, sementara Tjerita dari Blora (1952) menggambarkan kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah. Sketsa dalam Tjerita dari Djakarta (1957) menelaah ketegangan dan ketidakadilan yang Pramoedya rasakan dalam masyarakat Indonesia setelah merdeka. Dalam karya-karya awalnya ini, Pramoedya mengembangkan gaya prosa yang kaya akan bahasa Jawa sehari-hari dan gambar-gambar dari budaya Jawa Klasik.
Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pramoedya bersimpati kepada PKI, dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.
Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI.
Kemudian terjadi peristiwa rasial anti-Tionghoa semasa Indonesia telah merdeka, formal oleh negara, dalam bentuk PP 10 -1960. Buku Hoakiau di Indonesia yang diluncurkan sekarang ini, pertama diterbitkan oleh Bintang Press, 1960, merupakan reaksi atas PP 10 tersebut. Peraturan Pemerintah nomor 10 ini kemudian berbuntut panjang dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan Darat. Karena buku ini pula ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno.
Setelah keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun Sin memintanya “mengajar” di Fakultas Sastra Universitas Res Publica milik Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi yang kini bukan lagi milik Baperki. Ajakan ini sempat membuatnya merasa tidak enak karena SMP saja ia tidak lulus dan belum punya pengalaman dalam mengajar. Meskipun begitu, Pramoedya mengaku menggunakan caranya sendiri. Setiap mahasiswa ia wajibkan mempelajari satu tahun koran, sejak awal abad ini. Setiap tahun ada sekitar 28 mahasiswa yang ia beri tugas itu, sehingga Perpustakaan Nasional menjadi penuh dengan mahasiswanya.
Dari para mahasiswa-mahasiswi yang sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, ia menerima sejumlah informasi tentang perlakuan pihak militer terhadap keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Ternyata rasialisme formal ini ditempa oleh beberapa orang dari kalangan elit OrBa untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.
Di tahun 1965-an, Suharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina. Mengikuti cara Amerika, Suharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Suharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, ia ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965.
Meskipun Pramoedya tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Sukarno, kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah. Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Dalam buku ini, ia mengkritik cara tentara dalam menangani masalah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Pemerintah membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang.
Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka.
Pada tahun 1972, saat di penjara, Pramoedya ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pramoedya bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya. Selama dalam penjara (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.
Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya, dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.
Karya ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.
Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1969, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan harus melapor setiap minggu kepada militer. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.
Sebenarnya semenjak tahun 1960-an, minatnya yang besar pada sejarah membuatnya suka mengumpulkan berbagai artikel atau tulisan dari berbagai koran yang kemudian diklipping-nya.
Kini belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Karena prestasinya inilah ia dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time dan telah memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilyan menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia).
Novel-novel sejarah yang dibuat oleh Pramoedya mengungkap sejarah yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, yang kebanyakan jauh dari kenyataan. Seperti Nelson Mandela, ia menolak untuk memaafkan pemerintah yang telah mengambil banyak hal dalam kehidupannya. Ia khawatir bila ia mudah memaafkan, sejarah akan segera dilupakan. Ia menekankan pentingnya mengetahui sejarah seseorang sehingga orang lain tidak mengulangi kesalahan yang sama di tahun-tahun yang akan datang.
Pramoedya juga menyukai karya sastrawan lain seperti Leo Tolstoy, Anton Chekov, atau John Steinbeck. Kekagumannya pada gaya bercerita Steinbeck yang detail juga mempengaruhinya dalam menulis. Namun, Pramoedya tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, yang dianggapnya tidak manusiawi.
Selain membuat novel, ternyata Pramoedya, pengagum peraih Nobel, Gunter Grass ini, pernah juga menyusun syair-syair puisi. ”Tapi saya sudah mulai bosan dengan perasaan,” kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional.
Kini, Pram di usianya yang ke 78 tahun mengaku sudah makin kepayahan. Mencangkul yang dulu bisa dia lakukan enam hingga delapan jam hanya bisa dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa mengangkat benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika dia masih mencangkul di kebun. Dia hanya ingin bersunyi-sunyi di kediamannya, beternak dan berkebun sembari mengenang masa lalunya di Blora, di daerah bagian kelompok masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis.
Dia bahkan sudah tidak menulis novel lagi dan hanya sekali-sekali menulis essai. Dalam hidupnya di tengah-tengah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan kelas, Pramoedya masih meneruskan perjuangannya menuntut tidak hanya kebebasan menulis tetapi juga kebebasan membaca. Sekarang buku-bukunya tidak lagi dibredel, dan dapat dilihat di rak-rak buku setiap toko buku dan perpustakaan di seluruh Indonesia.
Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai 'Asian Heroes'.
Sang Pujangga Telah Berpulang
Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia Minggu 30 April 2006 sekitar pukul 08.30 WIB di rumahnya Jl Multikarya II No.26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Sang Pujangga kelahiran Blora 6 Februari 1925 yang dipanggil Pram dan terkenal dengan karya Tetralogi Bumi Manusia, itu dimakamkan di TPU Karet Bivak pukul 15.00, Minggu 30/4. Lagu Darah Juang mengiringi prosesi pemakamannya yang dinyanyikan oleh para pengagum dan pelayat.
Sebelumnya, dia dirawat di ICU RS St Carolus Jakarta. Kemudian sejak Sabtu sekitar pukul 19.00 WIB dia meminta pulang dan dokter mengizinkan. Sastrawan yang oleh dunia internasional, sebagaimana ditulis Los Angeles Time, sering dijuluki Albert Camus Indonesia itu termasuk dalam 100 pengarang dunia yang karyanya harus dibaca sejajar dengan John Steinbejk, Graham Greene dan Bertolt Berecht.
Profil Pram juga pernah ditulis di New Yorker, The New York Time dan banyak publikasi dunia lainnya. Karya-karyanya juga sudah diterjemahkan dalam lebih dari 36 bahasa asing termasuk bahasa Yunani, Tagalok dan Mahalayam.****
►e-ti/Atur Lorielcide Paniroy, dari berbagai sumber
sumber : INDONESIAN FAMOUS.COM
0 komentar:
Posting Komentar