13 Feb 2011

Ironi Sepakbola Indonesia

Dikirim oleh Bahrul Ulum Annafi’ – Dinoyo

Sepakbola di Indonesia, seperti halnya agama, memberikan kontradiksi yang sangat membingungkan. Di satu sisi dia memberikan kebanggaan, ada air mata kebahagiaan, ada teriakan penuh kemenangan, semangat menggelora yang tidak mungkin bisa dilukiskan dengan kata-kata. Tapi di sisi lain, sepakbola menimbulkan banyak kepedihan, air mata kesedihan yang mendalam, hinaan-hinaan yang tidak pantas dilontarkan kepada manusia, darah yang berceceran, dan yang tidak kalah penting selalu ada kepentingan di dalamnya.
Itulah Indonesia, negeri dengan 240 juta penduduknya ini sangat menggilai sepakbola. Lihat berapa jumlah orang yang berkumpul ketika Tim Nasional Sepakbola Indonesia bertanding di kuil pemujaan paling keramat insan sepakbola seluruh Indonesia, Stadion Utama Gelora Bung Karno, atau sebagian orang masih suka menyebutnya dengan istilah Stadion Senayan. Atau, coba lihat bagaimana fanatisme kelompok-kelompok suporter sepakbola di Indonesia padahal tim yang mereka dukung hanyalah tim yang berlaga di level lokal, dan jarang (untuk mencegah mengatakan tidak pernah) berprestasi lebih jauh ketika berada di level Asia dari sekedar tidak kalah lebih dari 3 gol dari klub-klub dari Jepang, Korea Selatan, atau bahkan China.
Sepakbola Indonesia, hari-hari ini menjadi topik yang paling sering dibahas di media-media di Indonesia, semua media seolah latah untuk selalu mengabarkan tentang perkembangan sepakbola nasional, tidak hanya permainan dan hal-hal teknis tapi juga kehidupan pribadi pemain-pemain sepakbola di Indonesia. Sayangnya, dengan gairah yang nampak menggebu-gebu dalam “melaporkan” tentang perkembangan sepakbola Indonesia, tidak semua media memiliki kemampuan yang sekedar cukup untuk berbicara tentang sepakbola, tentang rule of the game dalam sepakbola yang telah ditentukan oleh FIFA sang penguasa sepakbola dunia dan fakta-fakta yang menyertainya.
Lihat bagaimana salah satu stasiun televisi menyebutkan nama seorang pemain yang baru menjadi Warga Negara Indonesia, dan baru bermain tidak lebih dari 30 menit bagi klubnya yang bermain di “Liga Ilegal” di Indonesia disebut telah memiliki kemampuan yang sudah teruji, sehigga sangat disayangkan kenapa dia tidak masuk dalam squad Timnas Indonesia U-23. Padahal sebelumnya dia hanya bermain di level Divisi Empat di Liga Jerman. Saya pernah melihatnya bermain ketika digelar laga Charity Match antara Garuda Merah vs Garuda Putih di Stadion Gajayana, dan ternyata permainan dia biasa-biasa saja dalam pandangan saya dan beberapa orang yang hadir, padahal dua orang temannya yang sama nampak sebagai “Pemain Asing” dalam pertandingan itu telah membuat kami berdecak kagum, atas kepandaian intelegensia-nya dan sedikit skill-nya dalam pertandingan.
Entahlah apa yang dipikirkan oleh media itu, mungkin dia berfikir, bahwa karena sang pemain adalah produk binaan negeri pemenang tiga kali Piala dunia, maka dia memiliki skill yang baik dan di atas rata-rata, kalau itu terjadi, maka pandangan itu salah besar, dan Alferd Riedl telah mengajarkannya kepada kita. Itu belum semua, stasiun televisi lain mencoba untuk mengulas kenapa “Sang Pangeran” baru sepakbola Indonesia, Irfan Bachdim, yang bagi saya menjadi pangeran hanya karena wajahnya, tidak masuk dalam squad Timnas U-23.
Apa yang mereka berikan tepat, karena Irfan bermain di LPI, dan kemudian dia menganggap itu lebih karena sentiment PSSI kepada LPI, hal itu juga ditambah dengan komentar dari pengurus LPI yang menyayangkan keputusan PSSI itu, tidak ada yang menyentuh wilayah rule of the game yang dipegang teguh oleh Riedl. Riedl sebagai orang yang tahu tentang rule if the game dalam sepakbola, mengerti, bahwa dengan memanggil Irfan, maka dia akan membuat Timnas dihukum oleh FIFA, karena telah memainkan pemain yang bermain di sebuah liga yang tidak diakui oleh PSSI, AFC, bahkan FIFA.
Saya menjadi sedikit curiga kepada media, apakah mereka tidak pernah mengecek berita-berita mereka, dan mencari dasar dan fakta hukum yang ada, dan tidak hanya melemparkan sebuah opini dan wacana serta gosip kepada publik. Yang paling menggelitik saya, tentu saja pernyataan sebuah stasiun televisi yang menyatakan bahwa Irfan Bachdim dan Kim sangat senang berada di Persema karena supporter mereka yang sangat fanatik, dengan menunjukkan video orang-orang yang mengerubuti Bachdim untuk berfoto, ironisnya, kebanyakan dari orang-orang tersebut mengenakan kaos dengan lambang kebesaran Arema Indonesia, klub tetangga Persema, apakah media tidak bisa membedakan mana AREMANIA dan mana Ngalamania dari kaos yang mereka pakai?.
Sepengetahuan saya selama hidup dan menyaksikan sepakbola Indonesia, Persema tidak pernah memiliki supporter fanatic, ini bisa dilihat dari pertandingan derby Malang musim lalu di Liga Super Indonesia, baik ketika bermain di stadion Kanjuruhan (Markas AREMA) atau bahkan bermain di Stadion Keramat warga Kota Malang, yang bahkan Aremania mengakuinya sebagai kuil pemujaan utama yang penuh dengan nostalgia, Stadion Gajayana. Tidak tampak satupun supporter dari Persema, kedua stadion itu menjadi lautan Biru, warna yang selalu menjadi warna kebesaran Arema dan warna kebesaran Persema pada masa lalu, sebelum berubah menjadi warna merah karena ada kepentingan politik disana.
Keberadaan Liga Tandingan, yang “dianggap” mengancam eksistensi Liga Super Indonesia juga menjadi salah satu permasalahan pelik yang sangat sering dibahas akhir-akhir ini. Liga Primer Indonesia, begitu mereka menamakan diri, dengan mengusung semangat menjadikan sepakbola Indonesia menjadi lebih Profesional dan fair play. Sebuah semangat perubahan yang harus dihargai, dengan awal kemunculan menggunakan lambang siluet orang menendang bola dengan background warna merah-putih-hijau, sekilas hampir mirip dengan lambang yang pernah dipakai oleh Serie-A liga Italia dan liga Meksiko.
Saya pernah coba menanyakannya lewat akun twitter resmi LPI, apakah lambang tersebut memang meniru lambang Liga Italia dan Liga Meksiko, sang admin menjawab tidak, kemudian karena agak sedikit terganggu dengan lambang itu karena komparasi antara ketiganya sangat mirip, saya gunakan saja kalimat yang biasa digunakan oleh pemusik di Indonesia ketika karya mereka ternyata memiliki music yang sama dengan musisi barat bahwa itu hanyalah “Terinspirasi”, dan sang admin tidak pernah membalas mention itu hingga saat ini. Dengan menggunakan jargon “Change The Game” dan mengangkat seorang artis yang pernah menjadi manajer timnas Futsal Indonesia menjadi semacam Brand Ambassador mereka, LPI nampaknya sangat serius dengan apa yang mereka lakukan.
Diprakarsai oleh seorang pengusaha sukses bernama Arifin Panigoro, liga ini menjanjikan segala bayangan saya yang selalu saya impikan tentang klub sepakbola di Indonesia. Permasalahan timbul ketika PSSI tidak memberikan ijin bagi LPI untuk menggelar pertandingan dan menjalankan Liga, tapi LPI tidak gentar mereka terus berjalan dengan restu yang diberikan oleh Menegpora Andi Mallarangeng, LPI ada di atas angin, dan ijin menggelar pertandingan yang sebelumnya tidak diberikan oleh kepolisian akhirnya diberikan juga.
Disinilah dalam pandangan saya segala kerumitan mulai semakin merumit, dan mengeras. FIFA mengancam akan membekukan persepakbolaan Indonesia selama dua tahun apabila PSSI tidak dapat menyelesaikan permasalahan pelik ini. Saya pikir, bukan keberadaan LPI yang kemudian membuat FIFA mengeluarkan ancaman itu dalam suratnya (bila memang surat itu benar adanya seperti yang ditunjukkan oleh PSSI) yang ditujukan kepada PSSI, tapi lebih pada turut campurnya Menegpora dalam permasalahan LPI, pemberian ijin.
Padahal induk organisasinya tidak memberikan ijin, adalah sebuah kesalahan fatal, karena dengan seperti itu maka secara langsung Menegpora sudah turut campur dalam urusan Rule of the game dalam sepakbola, dan FIFA sangat mengharamkan itu. Lihat bagaimana rencana untuk membubarkan timnas Nigeria yang dilakukan oleh sang presiden telah membuat FIFA juga mengancam akan membekukan persepakbolaan negeri itu. Menegpora adalah pembantu presiden, maka dia juga adalah bagian dari pemerintah.
Jelas, pembekuan sepakbola Indonesia dari semua turnamen resmi FIFA selama dua tahun bukanlah sebuah hal yang patut untuk dinantikan. Semuanya harus kemudian bersikap bijaksana, Menegpora mungkin memang telah bersikap terlalu jauh dalam mencampuri urusan sepakbola nasional, tapi PSSI juga telah begitu gegabah, kenapa kemudian tidak memberikan saja ijin kepada LPI untuk melaksanakan roda kompetisi. Jika PSSI menyatakan tidak boleh ada dua liga professional dalam satu Negara, maka buatlah LPI menjadi sebuah kompetisi biasa, yang PSSI sendiri telah mengatakan bahwa LPI adalah sebuah Liga Tarkam.
Apa susahnya mengijinkan Liga Tarkam dengan pemain yang diberi kontrak secara professional bermain dan berkompetisi dalam semangat yang Insya Allah fair play. Sikap PSSI memang seringkali membingungkan, kadangkala mereka tidak memperdulikan sama sekali statue FIFA dalam menjalankan roda organisasinya, tapi terkadang mereka sangat teguh memegang statue itu, nampaknya PSSI menjalankan statue FIFA hanya jika bunyi pasal dalam statue itu menguntungkan mereka.
Itulah PSSI, yang dipimpin oleh mantan narapidana, dengan Sekretaris Jendral yang sudah lebih dari 20 tahun ada di belakang meja. Untuk itu, saya teringat dengan jingle sebuah iklan minuman yang kalau diplesetkan berbunyi, “Siapapun ketuanya, Nugraha Besoes Sekjen-nya”. Itulah PSSI, organisasi sepakbola yang penuh dengan ketidak fair play-annya dalam “mengembangkan” sepakbola Indonesia, yang dalam pengamatan saya, hanya berkembang menjadi tua dan mengenaskan.
Saya tidak akan menuliskan permasalahan politik yang berada dalam sepakbola Indonesia, meskipun saya tahu ada dua kekuatan partai politik besar di Indonesia yang mencengkram sepakbola Indonesia sekaligus dua liga yang sedang berseteru, yakni LSI dan LPI. Yang mencoba mengambil hati rakyat dari sepakbola, karena sepakbola adalah olahraga terbaik dan terdahsyat di muka bumi. Karena itu bisa sangat panjang untuk dituliskan, dan semuanya masih berupa analisa kasar dari seorang pencinta teori konspirasi seperti saya. Semuanya biarlah menjadi pertarungan antara otak dan hati saya, sepakbola Indonesia telah penuh dengan kebusukan, dan faktor politik, pada hari ini memperburuknya.
Cinta saya pada sepakbola melebihi cinta saya pada diri saya sendiri, ketika menuliskan ini, saya sedang berada dalam kondisi yang sangat lapar karena belum makan dari pagi hari. Dan hal itu baru terasa ketika saya menyelesaikan bagian akhir dari tulisan ini. Saya memiliki mimpi indah tentang sepakbola Indonesia dimasa yang akan datang, mimpi ketika Indonesia berada di puncak kekuasaan atas sepakbola, dan semoga ketika saat itu tiba, saya masih dapat menghirup udara yang berikan oleh Sang Maha Esa.
Semoga ketika saat itu tiba, saya masih mampu untuk berada di tribun, meneriakkan satu nama Indonesia, dengan Lambang Garuda di dada, Garuda akan terbang tinggi, memecah cakrawala dunia, dan semoga ketika semua itu terjadi, saya masih bisa mengucap rasa syukur yang sangat dalam kepada Tuhan Yang Maha Adil atas nikmat yang telah Beliau berikan pada bangsa ini. Dan, saya yakin ketika saat itu tiba, itu adalah saat pemerintah Indonesia telah memperbaiki kondisi hidup bangsa Indonesia.
Karena sampai saat ini, sepakbola Indonesia, masih merupakan sebuah Ironi…
Burung itu adalah burung emprit,

Dia sangat kecil dan lemah,

Dia hanya makan biji-bijian, sesuatu yang tidak mungki memakannya kembali,

Burung itu adalah burung emprit,

Dengan warna coklat dan sedikit warna putih di bulunya,

Coklat adalah warna kulit sebagian besar penduduk negeri ini,

Putih, adalah lambang kesucian mereka,

Burung itu adalah burung emprit,

Yang tidak mungkin menjadi seekor Garuda,

Itu kata mereka yang mulai lelah dan apatis,

Burung itu adalah burung emprit,

Paling tidak begitu mereka menganggapnya,

Karena mereka adalah orang yang tidak mampu melihat secara jernih,

Bahwa burung emprit itu sesungguhnya adalah Garuda yang Gagah,

Seperti yang telah diceritakan dari masa ke masa,

Garuda itu masih lelah, setelah berjuang mengusir penjajah,

Dan, sampai saat ini Garuda itu masih kehilangan jati dirinya,

Jati diri yang hilang karena diambil justru oleh sang putra negeri,

Bangkitlah Garudaku, Temukan jati dirimu,

Pada hati orang-orang yang percaya padamu,

Pada orang yang tidak pernah lelah meneriakkan namamu,

Dan memasang semangatmu di dada, lubuk hati terdalam, dan Jiwa Mereka,

BANGKITLAH GARUDAKU, KARENA ENGKAU SELALU DI JIWAKU,

KARENA ENGKAU ADALAH KEBANGGAANKU !!

Anda sedang membaca Artikel tentang Ironi Sepakbola Indonesia, jika Anda menyukai Artikel di blog ini, silahkan masukkan email Anda dibawah ini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel baru.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...